Aviza Zafarani (bagian 2)

Pagi menjelang. Ibuku keluar dari ruang perawatan, menemui ayah dan keluarga yang menungguiku di rumah sakit. Ibu bercakap bersama mereka dan mengajak ayah untuk menjenguk aku, memastikan kondisiku baik.

Namun di ruanganku, ibu dan ayah dilarang masuk sampai tiba jam berkunjung. Mereka kecewa dan berjalan keluar.

"Aku masuk ke kamarku dulu, mas," ibu kembali terbaring di ruang perawatannya, dengan menyimpan kekecewaan itu.

Ayah duduk bersama keluarga untuk sarapan. Pada pukul 11 siang, jam kunjungan telah dibuka, tapi hanya ibu yang boleh melihatku. Ibu di dalam bersama aku, bayi kecilnya. Ayah di luar bersama mereka, keluarga besarnya.

Sementara itu, suster memberitahu ayah bahwa ibu sudah bisa pulang, dan bahwa aku harus tetap ditahan. Keadaanku terlalu lemah untuk dirawat di kampung halaman.

Ayah juga dipanggil untuk mengurus Jaminan Persalinan (JAMPERSAL), sebuah layanan bagi ibu melahirkan yang biayanya dijamin oleh pemerintah. Ayah berjalan kaki mencari foto kopi, bertanya kesana-kemari, memasuki loket-loket di setiap sisi. Wajar saja, ayah pertama kali menangani hal tersebut, dan semua itu ayah selesaikan dengan lancar.

Pukul satu siang, ibu diperbolehkan pulang tapi tidak bersamaku. Mungkin ibu sedih karena keadaan ini, namun aku bahagia karena melihat ibu baik-baik saja, tanpa dirawat sepertiku.

Ibu sempatkan menjenguk aku, membelaiku. "Anakku yang cantik," kata ibu "yang sehat ya. Ibu mau pulang dulu."

Andai bisa kusampaikan, aku pasti katakan padanya bahwa aku ingin bersamanya, namun aku hanya dapat menggeliat. Aku sedang terlelap.

Kasihan ibu. Ia berkunjung ketika aku tertidur. Ia tidak tega untuk bangunkan aku. Ia ibu yang sangat baik, dan aku sangat mencintainya.

Ayah menunggu ibu di depan pintu, menyiapkan kepulangannya, dan mengantar hingga ibu naik mobil bersama keluarganya.

Kini aku ditemani ayah dan nenek saja. Mungkin jarak antara ruang mereka menunggu dan ruang di mana aku dirawat cukup jauh, tapi aku merasa dekat. Hatiku bersama mereka, bersama nenekku, bersama ayahku, bersama ibuku, bersama semua orang yang menyayangiku.

Ayah dan nenek bergiliran pergi ke mushola untuk sholat dzuhur.

"Jhon, kamu tidak ingin makan dulu?" nenek bertanya pada ayah begitu ia selesai shalat.

"Tidak, Mak." jawab ayah. "Aku belum lapar. Aku mau istirahat saja. Aku lebih butuh tidur ketimbang makan."

"Tapi kamu kan belum makan?"

"Tadi pagi aku makan sedikit nasi pecel," jawab ayah.

Jam telah menunjukkan pukul dua siang. Nenek masih memaksa ayah makan dan hampir membelikan nasi untuknya, tapi ayah menolak dan memutuskan untuk tidur -- bukan supaya badannya terbebas dari lelah, tapi supaya pikirannya terlepas dari penat. Ia tidur di lantai ruang tunggu, tanpa alas, tanpa bantal.

BACA JUGA:

~ Selasa, 28 Agustus 2012 1 komentar

Aviza Zafarani: Aku terlahir prematur dengan berat 150gram (bag. 1)

Aku dikandung ibuku penuh kasih sayang dan diharapkan lahir dalam sembilan bulan. Namun pada bulan kedelapan, aku sudah melihat dunia walau dalam beberapa jam.

Kamis, 23 Agustus 2012: Siang itu perut ibu sakit. Dan pada saat yang sama ayah sedang di luar kota, di Gresik, untuk sebuah keperluan. "Sabar dulu ya. Sebentar lagi pulang kok," tulis ayah setelah membaca SMS ibu.

Pukul empat sore, ayah tiba di rumah. Ia segera mandi dan shalat, dan ibu menawari sesuatu yang bisa kudengar dari dalam rahimnya. "Mas, makan dulu, ya," kata ibu.

"Ya, Bu. Sekalian buatkan kopi."

Menahan sakit di perutnya, ibu menyiapkan sepiring nasi dan secangkir kopi untuk ayah, menemaninya minum beberapa teguk, namun nyeri dalam perutnya tak kunjung sembuh.

"Nanti aku pijat punggung kamu setelah kita jamaah Maghrib ya, Bu." Adzan pun berkumandang dari masjid Nurul Huda. Ayah dan ibu shalat berjamaah.

Setelah selesai shalat dalam ruangan kecil yang mereka bagi berdua, ibu merasakan sakit yang bertambah, dan ayah bingung harus berbuat apa, tiada menduga jika aku akan lahir. "Ke tukang pijat saja, Mas," kata ibu.

Maka dibawalah ibu ke tukang pijit terdekat, di mana antrian berjejer sangat banyak. Tak sanggup menunggu lama, ayah usul untuk ke rumah bidan saja, yang hanya 30 meter dari rumah kami. Mereka tiba di rumahnya dalam lima menit. Tapi sayang sekali, karena saat itu masih suasana lebaran, ayah tak dapat menemui ibu bidan; ia keluar untuk silaturrahmi.

Ayah semakin risau melihat penderitaan ibu. Ia berusaha menelpon, tapi ponsel ibu bidan berada di rumahnya, tidak ia bawa. Sakit di perut ibu bertambah hebat, dan darah pun mengalir, dan ibu masih saja menunggu, selama hampir setengah jam, sampai bidan itu datang.

"Lho, kenapa ini? Mari masuk ke ruang perawatan," ia berkata saat menyaksikan ibu dan ayah kepanikan di rumahnya. Setelah memeriksa beberapa saat, ia menganjurkan agar ibu dibawa ke rumah sakit.

Ayah bingung untuk menyewa kendaraan. Tidak satupun mobil bisa dipakai, sampai pada akhirnya, ibu bidan menelpon ambulan.

Aku menendang-nendang dari dalam perut ibu. Aku mendengar sirine dan merasakan goncangan ambulan yang melaju menuju Rumah Sakit Umum Tuban.

Di rumah sakit, dibantu dokter dan suster, pada pukul 11 malam, saat ayah berada dalam puncak kecemasan, aku berhasil dilahirkan.

Dokter mengatakan kelahiranku adalah prematur, dengan berat 150gram. Aku dimasukkan inkubator. Tapi aku bahagia karena melihat ibu baik-baik saja.

Aku merasa keadaanku pun baik. Di sekelilingku, aku menyaksikan senyum bahagia dari ayah, ibu dan nenekku. Ayah melantunkan adzan dan iqomah di telingaku, dan mataku melirik kesana-kemari, dengan keingintahuan atas siapa sebenarnya semua orang ini yang begitu perhatian padaku.

Saat ayah keluar dari ruanganku, aku menangis kencang. Mungkin ayahku juga mendengar tangisanku. Itu adalah tangisan pertamaku, tangisan yang kuteriakkan ketika ibu tersenyum bangga padaku dalam pembaringannya.

Dan sambil aku menangis riuh di dalam, ayah menunggu terdiam diluar. Sampai terbit fajar.

BACA JUGA:

~ Minggu, 26 Agustus 2012 1 komentar

Tiga pesan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW

Malaikat jibril berpesan pada Nabi Muhammad SAW. Wahai Muhammad, ingat pesanku ini:

1. Hiduplah kamu dengan sesukamu, tapi ingatlah kamu akan mati juga.
2. Berbuatlah kamu sesenang hatimu, tapi ingatlah bahwa semua perbuatanmu akan menuntutmu.
3. Cintai dan sayangilah apapun yang ada di dunia, tapi ingatlah apapun itu pasti akan terpisah.

Allah sangat menyayangi kita. Tiga pesan di atas sudah cukup untuk bekal manusia hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Dan karena manusia hanyalah ciptaan, maka ia adalah kepunyaan sang pemilik, yaitu Tuhan. Bila saatnya telah tiba, manusia akan diambil kembali oleh pemiliknya melalui satu proses yang disebut MATI.


~ Jumat, 17 Agustus 2012 0 komentar

Peringatan Hari Ulang Tahun Indonesia ke-67

Hari ulang tahun kemerdekan Indonesia ke-67 kali ini bertepatan dengan bulan Ramadhan. Ini seperti mengulang sejarah kesatuan karena orang terdahulu melakukan proklamasi merdeka pertama juga pada bulan Ramadhan. Dengan demikian kebebasan yang kita nikmati saat ini, selain dari perjuangan pahlawan kita, tentu tidak lepas dari rahmat dan hidayah Allah SWT.



Dalam bulan puasa, guna menghormati momen kemerdekaan, pemuda Karang Taruna desa Blimbing (sebuah desa di kabupaten Lamongan, Jawa Timur) memperingati hari bersejarah tersebut dengan mengadakan acara Festifal Anak Sholeh (FASI) sekelurahan, yang diikuti 24 TPA/TPQ. Perlombaan diantaranya adalah:
1. Lomba Adzan
2. Lomba Kaligrafi
3. Lomba Tartil
4. Lomba Puisi
5. Lomba Pildacil



Masing-masing lomba diikuti santri berumur 12 tahun ke bawah dan dimulai tanggal 6 hingga 8 Agustus 2012. TPA Ribathul Muslimin di dusun Gowah juga menyemarakkan acara tersebut.



Dengan diadakannya FASI, pemuda berharap agar anak-anak dapat termotivasi dalam belajar agama dan siap menjadi generasi Qur'ani. Ormas ini berkomitmen bahwa setiap tahun, mereka akan selalu mengadakan festival tersebut.










~ Rabu, 08 Agustus 2012 0 komentar