Aviza Zafarani (bagian 3)

~ Senin, 10 September 2012
Baru saja berusaha tidur, ayah terbangun oleh suara suster. "Keluarga Ibu Zumaroh," kata suster itu pada ayah. "Silakan masuk ruang bayi."

Ayah bergegas masuk dengan muka yang lebih cerah, ya, lebih cerah ketimbang lima menit lalu saat matanya sayu dan wajahnya kusam, macam gelandangan di rumah sakit Tuban. Ia dipenuhi harapan besar bahwa aku akan boleh pulang. Ayah mendekatiku. Dan tiba-tiba muka cerah itu kembali muram.

"Bayi yang terlahir prematur selalu memiliki resiko, Bapak," kata suster, "jadi Bapak harus sabar. Bapak harus siap dan ikhlas terhadap apapun keadaan anak Bapak, bahkan seandainya sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Kesehatan bayi seperti ini tidak stabil."

"Bagaimana bisa begini, suster? Bukankah tadinya anak kami baik-baik saja? Kenapa sekarang tubuhnya membiru dan lemah begini, suster?"

"Beginilah bayi prematur, Pak," jawab suster itu. "Sewaktu-waktu kesehatannya bisa menurun. Bapak berdoa saja, ya. Silakan bapak tunggu di luar. Kami akan memanggil dokter untuk menangani anak bapak."

Ayah keluar dari ruanganku. Ia memberitahu nenek bahwa sekujur badanku telah membiru, dan nenek pun terkejut. Mukanya tampak lesu.

"Yang sabar sajalah, Jhon. Kita berdoa," kata nenek.

Kesedihan ayah begitu mendalam. Meskipun ia berusaha menampilkan wajah tenang dan tegar, namun hatinya kacau dan hancur. Air matanya perlahan menetes, menelusuri sudut matanya dan merayap ke pipinya. Bersama nenek, ia tetap menungguiku dengan sabar.

Namun ayah tidak ingin membagi kesedihan ini pada ibu dan keluarga di rumah. Ayah sengaja tidak memberitahu mereka bahwa aku dalam keadaan kritis. Mengingat ibu baru saja pulang, ayah takut jika kabar ini akan menjatuhkan pikirannya dan membuatnya sakit.

Adzan ashar telah terdengar. Secara bergantian, ayah dan nenek shalat di mushola kecil rumah sakit. Ayah duduk bersila dan berdoa agar aku dapat sehat dan memberinya senyum seperti yang bayi-bayi lainnya lakukan pada orang tuanya.

Andaikan saja aku bisa menyampaikannya, dalam keadaan seperti itu, aku ingin mengatakan pada ayah, "Sabarlah, Ayah. Semuanya telah diatur oleh Tuhan. Serahkanlah semua pada Allah. Apapun yang Allah kehendaki adalah yang terbaik untuk kita."

Selepas shalat dari mushola, ayah menemui nenek kembali, duduk bersamanya, mengalami gelisah kembali. Ayah begitu risau memikirkan keadaanku. Dan dengan suara yang pelan, ia baca beberapa ayat Al-Qur'an yang ia sanggup hafal. Ayah bukanlah orang yang penghafal banyak ayat dalam kitab suci, tapi ia meyakini bahwa Qur'an, apabila dibaca, akan mengobati jiwa yang gelisah. Dan ayah membutuhkan itu.

Sekitar pukul 5 sore, suster memanggil lagi. Keadaanku semakin kritis. Kulitku pucat dan mataku terpejam. Sebagian tubuhku kaku. Hanya jari kakiku yang dapat bergerak. Ayah tidak bisa berkata-kata. Air matanya keluar kembali.

Sebenarnya untuk beberapa urusan, ayah adalah pria yang tegar, tidak mengambil pusing segala persoalan. Tapi untuk kali ini ketegarannya runtuh. Aku bisa merasakan -- dari matanya -- betapa ia sangat terpuruk. Aku berusaha menenangkan ayah namun tak berdaya. Tapi ia seolah mengerti bahwa aku sedang mengatakan, "Sabar, Ayah. Jika aku ditakdirkan untuk hidup bersamamu, maka aku akan hidup. Namun jika Allah merencanakan hal yang lain, maka engkau ikhlaskanlah aku. Aku menyayangimu sepenuh jiwaku."

Suster menghampiri ayah. Kepada ayah yang telah berlinang air mata itu, ia katakan, "Bapak yang sabar, ya, jika sewaktu-waktu anak bapak dipanggil Allah. Sebab, kondisi anak bapak semakin memburuk. Dokter akan datang. Bapak bisa tunggu di luar dan jangan jauh-jauh agar kami dapat cepat mengabari bapak."

Di luar ruanganku, ayah bersandar pada pintu dan mengintip aku yang sedang ditangani dokter dan pekerja rumah sakit. Ayah tak berhenti berdoa. Ia berusaha menerima apapun keadaan yang akan terjadi, dan ia meyakinkan diri bahwa Allah menata segalanya.

Aku menjerit dari ruanganku. Ayah tersentak untuk melihat, namun ayah hanya boleh mengintip dari pintu. Hati ayah makin cemas tapi sekaligus lega karena mendengar tangisanku. Semangatnya hidup kembali.

Tangisanku berlangsung tiga kali, dan itu berasal dari rasa sakit yang entah bagaimana caranya aku alami. Ketika ayah mendengar jeritan ketigaku, perasaan lega dalam dirinya berubah jadi kekhawatiran. Ia seperti memahami bahwa aku telah kesakitan. Berderailah air mata ayah sambil ia menyandarkan badan.

"Sudahlah, Jhon. Sabar dan berdoa saja," kata nenek. "Jika anakmu ditakdirkan hidup, dia akan baik-baik saja.

Ambillah nasi goreng ini. Kamu belum makan."

"Ini bukan saat yang tepat untuk makan," pikir ayah. Tapi ia tetaplah menghargai apa yang nenek usahakan untuk dirinya dan untuk menenangkan hatinya.

Mata ayah masih memerah sembari ia masukkan beberapa sendok nasi ke mulutnya. Dalam hatinya, ia ingin sekali memarahi dirinya sendiri: "Bagaimana aku bisa bersenang-senang dan memuaskan perutku sementara anakku berbaring-baring dan memperjuangkan hidupnya?"

Ia tidak menghabiskan makanan itu dan meminum sebungkus kopi yang nenek belikan di depan rumah sakit.

Pukul 8 malam, ayah dan nenek telah menjamak sholat Isya dan Maghrib, dan mereka sekarang duduk menungguiku di luar.

Aku telah pasrah pada apa yang akan terjadi. Kalaupun aku harus pergi, aku harap ayah ikhlaskan aku.
Ibu, ikhlaskan aku juga, ibu. Mungkin aku tiada, tapi aku pergi ke surga. Barangkali ini jalan yg terbaik.
Ayah, Ibu, aku mencintaimu, tapi aku harus meninggalkan kalian. Dan maafkanlah aku karena tidak bisa memberi kebahagiaan, tak dapat berbagi senyum yang lucu, dan tak mampu memberikan tingkah yang menggemaskan dalam hari-harimu.

Pada pukul 9 malam, ketika ayah menahan gelisahnya dan berusaha menghidupkan harapannya, dokter menjumpainya dan berkata, "Bapak, maafkan kami. Kami tak bisa selamatkan anak bapak.

Innalillahi wainna ilaihi rajiun.

BACA JUGA:

1 komentar:

lane hemings mengatakan...

"Selamat siang Bos 😃
Mohon maaf mengganggu bos ,

apa kabar nih bos kami dari Agen365
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Silahkan di add contact kami ya bos :)

Line : agen365
WA : +85587781483
Wechat : agen365


terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"

Posting Komentar