Rabi'ah Al-Adawiyah, wanita Sufi pertama di dunia

~ Senin, 26 April 2010
Jika ada wanita yang kuat dan selalu berpegang pada prinsip hidup hingga akhir hayatnya, maka ia adalah Rabi'ah Al-Adawiyah. Ia mempersembahkan seluruh usianya untuk sesuatu yang mulia, sesuatu yang sulit dilakukan oleh manusia pada umumnya.

Rabi'ah Al-Adawiyah dikenal sebagai pendiri 'Agama Cinta' (Mahabbah) dan diingat sebagai ibu Sufi dunia. Namun bagaimanakah sebenarnya kehidupan dari sosok wanita yang kepergiannya dielu-elukan kaum Sufi itu?

Rabi'ah Al Adawiyah, bernama asli Rabi'ah Basri, lahir pada tahun 713 M di Basrah, Iraq, dari keluarga miskin dan terkucil.

Sebagai anak keempat, ia diberi nama Rabi'ah, yang bermakna "empat" dalam Bahasa Arab. Ia dilahirkan dalam sebuah rumah yang mengenaskan di tengah kemakmuran kota Bashrah yang bergelimang. Ketika melahirkan Rabi'ah, ibunya tidak ditemani oleh siapapun, tidak juga didampingi ayahnya. Ismail, sang ayah, tengah mencari bantuan kepada para tetangganya.
Saat itu malam hari dan semua tetangga sedang tidur. Praktis, Ismail tidak mendapat bantuan siapapun, tak bertemu dengan seorangpun.

Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil. Sebenarnya ia tadi hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah dari tetangga untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Ismail pulang dan masuk ke kamar istrinya ketika tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di kamar itu: seorang bayi. Ya, bayi!

Tampak cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapapun itu. "Ya Allah," seru Ismail, "anakku telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam-Mu." Dalam hati Ismail berucap, "Amin." Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan, dan Ismail tetap tidak punya apa-apa, kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia bersujud dalam shalat Tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Tuhan.

Ia berada dalam lautan mimpi ketika gumpalan cahaya, lebih benderang, muncul di depannya. Rasul hadir kepadanya. Rasulullah berkata padanya, "Jangan bersedih, hai orang shalih. Anakmu kelak akan dicari syafa'atnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kau kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan shalat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya. Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, dan 400 rakaat saban malam Jum'at. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat silam.

Itulah sebagian tanda-tanda karomah yang dibawa oleh si bayi kecil Rabiah al-Adawiyah, yang kelak adalah seorang sufi perempuan, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih empat tahun. Begitu pula dengan ketiga kakak Rabiah. Mereka meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, Rabiah jatuh ke tangan orang kejam, yang menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya tidak kalah bengisnya dibandingkan majikan sebelumnya.

Setelah bebas, Rabi'ah pergi ke tempat-tempat sunyi, menjalani hidup dengan bermeditasi, sebelum ia sampai di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Tikar butut, kendil dari tanah, dan sebuah batu bata adalah harta satu-satunya yang ia punyai dan teman satu-satunya dalam menjalani hidup kepertapaan.

Sejak saat itu seluruh hidupnya ia abdikan pada Allah SWT, menghiasi hari-harinya dengan doa dan dzikir. Saking sibuknya mengurus akhirat, Rabi'ah lalai dengan urusan duniawi, termasuk untuk menikah sekalipun. Meski banyak pinangan datang -- salah satunya dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal -- tapi Rabiah tetap tidak goyah dengan prinsip hidupnya, tidak terbesit fikiran tentang berumah-tangga. Ia menjalani hidup seperti itu hingga akhir hayatnya.

Rabi'ah Al-Adawiyah meninggal pada tahun
801 M dalam perjalanan kesufian. Ia adalah contoh wanita yang kuat, kukuh pada prinsip, dan berdedikasi kepada sesuatu yang dicintainya, yakni kesucian hati dan ketakwaan kepada tuhannya, Allah SWT. Kisah Rabi'ah seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi wanita pada jaman ini.

0 komentar:

Posting Komentar