[Kisah nyata] Pemulung gendong mayat anaknya karena tak bisa bayar Ambulans

~ Kamis, 05 April 2012


Penumpang kereta api listrik jurusan Jakarta-Bogor geger sebab mereka tahu bahwa pemulung 38 tahun, yang bernama Supriono, telah menggendong mayat anaknya Khairunnisa, 3 tahun. Hari itu, ia hendak membawa Khairunnisa ke kampung Keramat, Bogor. Tapi karena ia dicurigai melakukan kejahatan, Supriono dipaksa turun dari kereta di stasiun Tebet dan langsung dibawa ke kantor polisi.

Di kepolisian, pria tersebut mengatakan si anak telah meninggal karena penyakit muntaber.

Mendengar pengakuan itu, polisi tidak begitu saja percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah ke rumah sakit untuk di Autopsi.

Ketika jenazah telah tiba di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khairunnisa sudah empat hari terserang muntaber.

"Saya hanya sekali membawa khairunnisa berobat ke puskesmas di kecamatan Setiabudi. Meski biaya hanya Rp 4.000 tapi saya hanya pemulung kardus dan plastik di jalan, yang penghasilannya hanya Rp 10.000 per hari." Ujar bapak dua anak yang mengaku tinggal di kolong lintasan rel kereta api di Cikini itu.

Dengan keadaan seperti itu, dan dengan kebiasaan sakit yang dialami orang miskin, Supriono hanya berharap anaknya bisa sembuh dengan sendirinya.

Khairunnisa, selama sakit, terkadang masih ikut ayah dan kakaknya Musriki Sholeh untuk memulung di Manggarai hingga Salemba, meski ia hanya terbaring di gerobak ayahnya.

Dan karena tidak kuasa melawan penyakitnya, Khairunnisa meninggal dunia di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang lusuh, dan di sela-sela kardus yang kotor.

Tak ada siapa-siapa kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan musriki termangu. Bersama mereka, hanya ada uang Rp 6.000, yang tak mungkin cukup untuk beli kain kafan bagi mayat si kecil, apalagi untuk menyewa Ambulans.

Sementara Khairunnisa masih terbaring di gerobak, sang bapak mengajak Musriki berjalan mendorong mayat adiknya dari Manggarai hingga ke stasiun Tebet.

Pukul 10 pagi, gerobak sampai di stasiun. Sarung yang sedikit kotor digunakan untuk membungkus mayat Khairunnisa. Wajah dan kepalanya sengaja dibuka agar orang-orang tahu bahwa anak itu sudah menghadap sang Khaliq.

Sambil tangannya menggendong mayat, Supriono menuju Kereta Api, dan seorang pedagang keliling tiba-tiba menghampiri dan menanyakan apa yang dibawanya. Supriono menjelaskan bahwa anaknya meninggal dunia dan ia akan membawanya ke Bogor untuk dimakamkan. Mendengar kata "meninggal dunia" dari mulut Supriono, penumpang lainnya spontan kaget. Mereka langsung berkerumun. Supriono dibawa ke kantor Polisi Tebet.

Setelah beberapa pertanyaan terhadap Supriono, polisi menyuruhnya membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang Ambulans hitam. Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.

Supriono hanya bisa bersandar di tembok ketika ia menantikan surat permintaan pulang dari RSCM.

Muriski, sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya sudah tidak bernyawa, masih terus bermain. Ia sesekali memegang tubuh adiknya.

Pukul 4 sore, petugas akhirnya mengeluarkan surat. Dan lagi-lagi karena tidakadanya uang untuk menyewa Ambulans, Supriono harus berjalan kaki dan menggendong mayat anaknya sambil menggandeng Muriski.

Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan Air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Sartono Muladi, seorang psikolog, menangis mendengar cerita tersebut. Ia mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa tragis itu. Dan ini juga merupakan renungan bagi kita semua dan sebagai tamparan untuk Bangsa dan Negara Indonesia ini.

1 komentar:

Choiron mengatakan...

Hoax... mana ada ambulan hitam dan orang bernama musriki...

Posting Komentar